Thursday 28 November 2013

SHAHADAH IMAM SAJJAD A.S


BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM


Dialah yang dikenal jejak langkahnya,
oleh butiran pasir yang dilaluinya.
Rumah Allah Kakbah pun mengenalnya,
dan dataran tanah suci sekelilingnya.
Dialah putra insan termulia,
dari hamba Allah seluruhnya.
Dialah manusia hidup berhias takwa,
kesuciannya ditentukan oleh fitrahnya.
Di saat ia menunju Kakbah,
bertawaf mencium Hajar jejak kakeknya.
Ruknul Hatim enggan melepaskan tangannya,
karena mengenal betapa ia tinggi nilainya.
Itulah Ali cucu Rasulullah,
cucu pemimpin segenap umat manusia.
Dengan agamanya manusia berbahagia,
dengan bimbingannya mencapai keridaan-Nya.
Jika Anda belum mengenal dia,
dia itulah putra Fatimah.
Putri Nabi utusan Allah,
penutup para Rasul dan anbiya.
Pertanyaan Anda “Siapa dia?”
tidak merugikan keharuman namanya.
Arab dan ajam mengenal dia,
walau Anda hendak mengingkarinya.
Tidak pernah ia berucap “tidak”,
kecuali dalam ucapan syahadatnya.
Kalau bukan karena syahadatnya,
“Tidak”nya berubah menjadi “ya”.
Berasal dari keluarga mulia
Mencintainya fardhu dalam agama
Membencinya kufur dalam agama
Dekat padanya selamat dari marabahaya.
Yang mengenal Allah pasti mengenal dia
Yang mengenal dia mengenal keutamaannya
Yang bersumber pada lingkungan keluarganya
Tempat manusia bermandikan cahaya.
..........BERSAMBUNG DI BAWAH( TK ALIREZA )

IMAM ALI ZAINUL ABIDEEN ASSAJJAD ( CONDOLENCE FOR HIS MARTYRDOM )

Imam Sajjad ('Ali ibn al-Husayn entitled Zaynu'l-'Abidin and Sajjad) was the son of the Third Imam and his wife, the queen among women, the daughter of Yazdgerd the King of Iran. IIe was the only son of Imam Husayn to survive, for his other three brothers 'Ali Akbar, aged twenty-five, five-year-old Ja'far and 'Ali al-Asghar (or 'Abdullah) who was a suckling baby were martyred during the event of Karbala'. The Imam had also accompanied his father on the journey that terminated fatally in Karbala', but because of severe illness and the inability to carry arms or participate in fighting he was prevented from taking part in the holy war and being martyred. So he was sent with the womenfolk to Damascus. After spending a period in imprisonment he was sent with honour to Medina because Yazid wanted to conciliate public opinion. But for a second time, by the order of the Umayyad caliph, 'Abdu 'l-Malik, he was chained and sent from Medina to Damascus and then again returned to Medina. The Fourth Imam, upon returning to Medina, retired from public life completely, closed the door of his house to strangers and spent his time in worship. He was in con- tact only with the elite among the Shi'ites such as Abu Hamzah ath-Thumali, Abu Khalid Kabuli and the like. The elite disseminated among the Shi'ah the religious sciences they learned from the Imam. In this way Shi'ism spread considerably and showed its effects during the Imamate of the Fifth Imam. Among the works of the Fourth Imam is a book called Sahifah Sajjadiyyah. It consists of fifty-seven prayers concerning the most sublime Divine sciences and is known as "The Psalm of the Household of the Prophet." The Fourth Imam died (according to some Shl'ite traditions poisoned by al-Walid ibn 'Abdi 'l-Malik ibn Marwan through the instigation of the Umayyad caliph Hisham) in 95/712 after thirty-five years of Imamate.
al-Imam 'Ali ibn al-Husayn, peace be Upon him, said:
Refrain from lying in all things, big or small, in seriousness or in jest. For when one starts lying in petty matters, soon he will have the audacity to lie in important matters (also).
A man need not fear Allah except on account of his own sins, and should place his hopes only with his Lord. When about something one does not know, one should not be ashamed of having to learn about it. And patience is to faith what the head is to the body; one who does not have patience also lacks faith.

WIKIPEDIA TENTANG IMAM AS SAJJAD

Ali bin Husain (658-713) (Bahasa Arabعلي بن حسين زين العابدين) adalah imam ke-4 dalam tradisi Syi'ah. Ia anak dari Husain bin Ali dan cicit dariMuhammad. Ia dikenal oleh Syi'ah dengan julukan Zainal Abidin karena kemuliaan pribadi dan ketakwaannya dan as-Sajjad sebagai tanda "orang yang terus melakukan sujud dalam ibadahnya".[1] Beliau juga dipanggil dengan nama Abu Muhammad, bahkan kadang ditambah dengan Abu al-Hasan.[2]

Kelahiran[sunting | sunting sumber]

Ali bin Husain dilahirkan di Madinah pada tahun 38 H/658-659 M menurut mayoritas riwayat yang ada, riwayat lainnya menyatakan ia dilahirkan pada tanggal 15 Jumadil Ula 36 H. Dua tahun tinggal bersama kakeknya, Ali bin Abi Thalib, 12 tahun tinggal bersama pamannya, al-Hasan, 23 tahun tinggal bersama ayahnya, al-Husain. Dia wafat di Madinah pada 95 H/713 M dalam usia 57 tahun, ada pula yang menyatakan wafat pada 25 Muharram 95 H. 34 tahun setelah kewafatan ayahnya. 34 tahun ia menjadi Imam dan dimakamkan di Pekuburan al-BaqiMadinah sebelah pamannya, al-Hasan.[2]

Ibu[sunting | sunting sumber]

Ada beberapa riwayat yang menyatakan tentang siapa ibu dari Ali Zainal Abidin, antara lain:
  • Riwayat pertama menyatakan bahwa ibunya bernama Syahzanan putri dari Yazdigard bin Syahriyar bin Choesroe. Selain itu disebut juga ia bernama Syahrbanawaih. Khalifah Ali bin Abi Thalib mengangkat Huraits bin Jabir al-Hanafi untuk menangani urusan bagian provinsi-provinsi timur, Huraits memberikan kepada Ali dua putri Yazdigard bin Syahriyar bin Choesroe. Salah satu putri Yazdigard ini yang bernama Syahzanan diberikan Ali kepada putranya yang bernama al-Husain. Syahzanan kemudian memberikan anak lelaki kepada al-Husain. Anak lelaki ini bernama Zainal Abidin. Ali memberikan putri Yazdigard yang satunya lagi kepada Muhammad bin Abu Bakar, yang melahirkan seorang anak lelaki bernama al-Qasim.[2]
  • Riwayat lainnya menyatakan bahwa ibunya bernama Syahrbanu, putri Yazdigird, kaisar terakhir Sasaniyah, Persia. Oleh karena itu Ali Zainal Abidin dijuluki pula Ibn al-Khiyaratyn, yaitu anak dari dua yang terbaik, yaitu Quraisy di antara orang Arab dan Persia di antara orang non-Arab. Menurut riwayat itu ibunya dibawa ke Madinah sebagai tahanan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab yang hendak menjualnya. Namun Ali bin Abi Thalibmenyarankan sebaiknya Syahrbanu terlebih dahulu diberi pilihan untuk menjadi istri salah seorang Muslim, dan mas kawinnya diambil dari Baitul Mal. Khalifah Umar menyetujuinya, dan akhirnya Syahrbanu memilih putra Ali bin Abi Thalib yaitu Husain. Konon Syahrbanu wafat tak lama setelah melahirkan anak semata wayangnya ini.[1]

Keturunan[sunting | sunting sumber]

Beliau memiliki 15 orang keturunan,

11 anak laki-laki[sunting | sunting sumber]

  1. Muhammad al-Baqir, ibunya adalah Ummu Abdullah binti al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Merupakan Imam selanjutnya menurut Imamiyah.
  2. Abdullah al-Bahir[3]
  3. al-Hasan
  4. al-Husain al-Akbar[3]
  5. Zaid, imam pengganti menurut Zaidiyah.
  6. al-Husain al-Asghar[3]
  7. Abdurrahman
  8. Sulaiman
  9. Muhammad al-Asghar atau Qaim[3]
  10. Umar al-Asyraf[3]
  11. Ali, merupakan anak bungsu

4 anak perempuan[sunting | sunting sumber]

  1. Khadijah, saudara seibu dengan Ali
  2. Fatimah
  3. Aliyah
  4. Ummu Kultsum

...........SAMBUNG DARI PUISI DI ATAS

Siapakah al-Farazdaq?

Nama asli al-Farazdaq adalah Abu Firas Hammam bin Ghalib bin Sha’sha’ah at-Tamimi ad-Darimi. Ia lahir di Kadhima (sekarang Kuwait) pada tahun 641 namun tinggal di Basrah. Pada usia 15 tahun, Farazdaq dikenal sebagai penyair. Suatu ketika Ghalib datang kepada Imam Ali bersama putranya. Imam bertanya, “Bagaimana tentang jumlah untamu yang banyak?” Ia menjawab, “Mereka telah tersapu habis (dalam melaksanakan kewajiban), wahai Amirul Mukminin.” Imam menjawab, “Itu cara paling terpuji.”
Lalu Imam bertanya kepada Ghalib siapa anak muda ini. Dengan bahagia Ghalib menjawab, “Dia adalah putraku dan dia seorang penyair.” Ketika Imam mendengarnya, beliau berkata, “Ajari ia Alquran. Itu lebih baik baginya dari sekedar membaca syair.” Kata-kata Imam mempengaruhi al-Farazdaq sehingga ia berjanji tidak akan bebas sebelum menghafal Quran. (Lihat: Syarh Ibnu Abil Hadid). Kemudian al-Farazdaq kembali kembali membuat puisi.
Ketika ia tinggal di Bashrah, ia menyusun satir untuk Bani Nisyal dan Bani Fuqaim dan ketika Ziad bin Abihi (anggota Bani Fuqaim) menjadi gubernur di Irak pada tahun 669. Al-Farazdaq dipaksa tinggal beberapa tahun di Madinah dan kembali ke Bashrah setelah kematian Ziad. Di Bashrah ia berusaha mendapatkan dukungan putra Ziad, Ubaidillah.
Al-Farazdaq terkadang bersikap “gila” dan berani, seperti syair dan perseteruannya dengan Jarir (penyair dekat seorang tirani, al-Hajjaj) yang telah menjadi perbincangan selama berabad-abad. Kekayaan kosakata al-Farazdaq membuat kritikus Arab terdahulu berkata, “Jika syair-syair al-Farazdaq tidak ada, sepertiga bahasa Arab akan hilang.” Dîwan-nya mengandung ribuan sajak, termasuk pujian, sindiran dan rintihan.

Pertemuan dengan Imam Husain

Sebelum Imam Husain berangkat ke Karbala, beliau bertemu dengan al-Farazdaq dan menanyakan kondisi di Irak. Al-Farazdaq mengatakan bahwa hati orang-orang di sana bersama Imam tapi pedang mereka bersama Ummayah dan mengarah ke Imam. Imam Husain menjawab, “Bila segalanya berjalan sebagaimana yang kami kehendaki, kami bersyukur kepada Allah… Tetapi bila terjadi yang tidak menguntungkan, kami tidak rugi karena maksud kami baik… Aku bersyukur kepada-Nya dalam segala keadaan, yang menyenangkan atau sebaliknya.”
Kepada al-Farazdaq, Imam Husain as juga berkata, “Wahai Farazdaq! Mereka adalah orang-orang yang telah melalaikan ketaatan kepada Allah dan mengikuti ajakan setan. Mereka berbuat kerusakan di muka bumi, mencampakkan hukum Allah dan melakukan kemunkaran serta merampas harta orang-orang fakir. Aku lebih berhak untuk bangkit membela agama Allah. Demi kemuliaan agama, aku jihad di jalan Allah sehingga kalimah Allah tegak.”

Syair Monumental

Meskipun Hisyam bin Abdul Malik adalah khalifah Bani Umayyah, dia tidak berhasil menyentuh dan mencium Hajarul Aswad, karena banyaknya jumlah jemaah haji. Kaki tangan dan para pengawal yang datang bersama Hisyam dari negeri Syam juga gagal menjaga “keagungannya” di hadapan kebesaran dan keagungan amal ibadah haji. Berulang kali Hisyam berusaha untuk sampai ke Hajarul Aswad, namun selalu saja gagal.
Akhirnya dia mengalah dan mundur, Hisyam duduk di sebuah kursi yang telah tersedia di tempat yang agak tinggi sembari memandang jemaah haji yang sedang mengintarinya. Tiba-tiba muncul seseorang yang berwajah saleh. Mula-mula beliau bertawaf mengelilingi Kakbah tujuh kali, lalu dengan wajah tenang dan langkah yang mantap, beliau beranjak menuju ke arah Hajarul Aswad. Jemaah yang berdesakan itu segera memberikan jalan ketika melihatnya datang.
Melihat hal itu, orang-orang Syam merasa terkejut. Mereka heran karena seorang khalifah seperti Hisyam yang mempunyai status sosial yang tinggi gagal mencapai Hajarul Aswad, tapi orang yang sederhana itu justru dengan mudah bisa mencapainya. “Siapa gerangan orang itu wahai Amirul Mukminin?” tanya orang kepada Hisyam. “Entahlah,” jawab Hisyam tak acuh.
Hisyam sebenarnya mengenal siapa orang itu tapi berpura-pura tidak mengenalnya. Ia adalah Imam Ali Zainal Abidin, putra Imam Husain. Lagi pula siapakah yang berani mengenalkan orang ini kepada Hisyam, yang pedangnya selalu berlumuran darah pada saat itu? Dalam keadaan seperti itu, al-Farazdaq, berkata, “Aku kenal dia. Bahkan tidak puas dengan mengenalkannya begitu saja.” Dia berdiri di sebuah tempat yang agak tinggi dan mengucapkan syair (yang saya ringkas):(DI ATAS )
Mendengar syair, manthiq dan bayan al-Farazdaq ini, Hisyam naik darah. Diperintahkannya agar jatah al-Farazdaq dari Baitul Mal diputus, dan dia dijebloskan ke dalam penjara Asfan, suatu daerah antara Mekah dan Madinah. Namun semua itu tidak mengendurkan semangatnya yang dalam untuk mengungkapkan akidah dan prinsipnya. Bahkan di penjara pun, dia terus mengucapkan syair-syairnya yang bernada protes dan kritik berapi-api.
Suatu hari, Imam Ali Zainal Abidin mengirim sejumlah uang untuk al-Farazdaq sebagai ganti atas pemotongan haknya dari Baitul Mal. Tapi al-Farazdaq menolaknya dan berkata, “Kuucapkan syair itu demi akidah dan imanku karena Allah semata-mata. Aku tidak berhasrat menerima uang ini sebagai upah.” Untuk kedua kalinya Imam Ali Zainal Abidin mengirimkan sejumlah uang kepada al-Farazdaq. Dia berpesan, “Allah Swt. Maha Mengetahui tujuanmu. Andaikan engkau terima bantuanku, tidaklah berarti bahwa ganjaranmu dan pahalamu akan terusik.” Dan Imam Ali Zainal Abidin bersumpah kepada al-Farazdaq agar menerima bantuannya hingga akhirnya menerima.
Update: Download pembacaan syair al-Farazdaq di atas oleh Mulla Bassem.
Sumber: WikipediaKeutamaan Keluarga Rasulullah saw. karya KH. Abdullah bin Nuh,http://www.ezsoftech.com/stories/imamsajjad2.aspNahjul Balâghah

No comments:

Post a Comment