Wednesday, 29 January 2014

SEPUTAR AL-QUR'AN


BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM ********************************************************************************************************************************** Mengenal Ahlul Bait Nabi Saw: Pelita Pemikiran Imam Ja’far As-Shadiq as Tentang Al-Quran ------------------------------------------------------------------ Imam Shadiq as berkata: "Aku mengetahui kitab Allah Swt. Di dalamnya telah disebutkan apa saja mulai dari awal penciptaan hingga kiamat kelak. Di dalamnya ada kabar tentang langit, bumi, sorga, neraka dan kabar tentang masa lalu dan sekarang dan aku mengetahuinya sedemikian rupa seperti melihatnya di telapak tanganku." (Ushul Al-Kaafi jilid 1, halaman 61, bab 20) Imam As-Shadiq as dilahirkan pada tanggal 17 Rabiul Awwal tahun 83 Hijriah di kota Madinah. Ayah beliau adalah Imam Muhammad Baqir as. Era Imam As-Shadiq as, merupakan penggalan sejarah Islam yang paling banyak mencatat peristiwa, menyusul transisi kekuasaan dari Bani Umayah menuju Bani Abbas dan dampak-dampaknya. Di sisi lain, era tersebut merupakan era interaksi berbagai pemikiran dan ideologi serta era pertukaran pendapat pemikiran filsafat dan teologi. Dibandingkan era sebelumnya, umat Muslim di era ini lebih menunjukkan antusias sangat besar terhadap ilmu pengetahuan. Dengan bekal ilmu yang mendalam dan besarnya tekad untuk menghidupkan dan menyebarkan agama Islam, Imam Ja'far As-Shadiq as membentuk sebuah markas ilmiah besar dan mencetak murid-murid ternama di berbagai bidang. Selain aktivitas ilmiah, Imam Shadiq as jua memperhatikan masalah pemerintahan dan mengecam para penguasa zalim. Terkait kerjasama dengan orang-orang zalim beliau berkata, "Orang yang memuji penguasa zalim dan merendahkan diri di hadapannya, dengan harapan mendapatkan harta dari penguasa, maka orang seperti ini akan bersama dengan penguasa zalim itu di neraka jahannam." (Ushul Al-Kaafi jilid 12, hal 133). Terkait kepemimpin umat (al-wilayah), beliau mengatakan, "Wilayah lebih utama dari shalat, puasa, zakat dan haji, karena wilayah (kepemimpinan) adalah kunci itu semua, penguasa dan pemimpin adalah pembimbing masyarakat menuju itu semua, (Ushul Al-Kaafi jilid 2, hal 242) Revivalisasi kembali mutiara ajaran Islam oleh Imam As-Shadiq as membuka ufuk-ufuk baru di hadapan umat Islam dan menciptakan gelombang semangat ke arah ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Salah satu pertanyaan ghalib tentang Al-Quran adalah, apakah Al-Quran mencakup seluruh ilmu pengetahuan umat manusia? Lahiriyah ayat-ayat Al-Quran menunjukkan bahwa kitab langit ini menjelaskan "segala sesuatu." Allamah Thabathabai, seorang ahli tafsir Al-Quran dalam hal ini menyatakan, "Maksud dari segala sesuatu itu adalah urusan-urusan yang berkaitan dengan hidayah (petunjuk) bagi umat manusia, yakni maarif hakiki yang berkaitan dengan dunia, penciptaan dan kiamat, akhlak mulia, syariat Allah, kisah dan nasehat-nasehat." Imam As-Shadiq as berkata, "Allah Swt telah menjelaskan segala sesuatu. Demi Allah, tidak ada yang kurang dalam sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga tidak ada orang yang akan berkata hal ini benar dan seharusnya disebutkan dalam Al-Quran. Sesungguhnya dalam Al-Quran telah disebutkan." Dinukil dari Imam As-Shadiq as, "Tidak ada satu masalah pun yang diperselisihkan oleh dua orang, kecuali telah ditetapkan sebuah pokok untuk menyelesaikannya dalam Al-Quran, akan tetapi akal manusia tidak menalarnya." (Ushul Al-Kaafi jilid 1, halaman 60, hadis 6) Dari riwayat ini dapat dipahami bahwa segala sesuatu telah dijelaskan dalam Al-Quran, hanya saja semua masalah itu tidak dapat dinalar manusia yang tidak maksum. Imam Shadiq as berkata: "Aku mengetahui kitab Allah Swt. Di dalamnya telah disebutkan apa saja mulai dari awal penciptaan hingga kiamat kelak. Di dalamnya ada kabar tentang langit, bumi, sorga, neraka dan kabar tentang masa lalu dan sekarang dan aku mengetahuinya sedemikian rupa seperti melihatnya di telapak tanganku." (Ushul Al-Kaafi jilid 1, halaman 61, bab 20) Imam Shadiq as ditanya bagaimana mungkin setelah sekian lama tersebar dan dengan berlalunya masa, Al-Quran selalu baru akan tetapi tidak ada yang ditambahkan di dalamnya? Beliau menjawab, "Karena Allah Swt tidak menetapkannya (Al-Quran) untuk masa dan masyarakat tertentu. Sebab itu, Al-Quran hingga hari kiamat selalu baru di setiap masa dan selalu baru bagi sebuah kaum baru." Yang dimaksud Imam As-Shadiq as adalah bahwa Allah Swt menurunkan Al-Quran sedemikian rupa sehingga cocok untuk setiap masa dan menjawab seluruh tuntutan umat manusia. Karena Al-Quran dengan penjelasan hukum dan ketentuan universalnya serta kehadiran imam dan berlanjutnya ijtihad, memiliki potensi untuk menjadi sumber proses esktrasi jawaban bagi berbagai permasalahan baru di setiap masa. Mengenal Al-Quran sebagai kitab Allah Swt yang terlengkap sangat penting dan menjadi keharusan. Dalam hal ini Imam Ja'far As-Shadiq as berkata, "Sebaiknya jangan sampai seorang mukmin meninggal dunia sebelum dia mempelajari Al-Quran atau ketika sedang belajar Al-Quran." Yang dimaksud dalam hadis Imam As-Shadiq as tentu bukan membaca atau qiraah saja, melainkan pemahaman kandungan, arti dan perintah dalam Al-Quran serta pada akhirnya mengamalkannya. Karena Imam Shadiq as dalam hadis lain menyinggung orang-orang yang telah benar-benar melaksanakan tugasnya dalam membaca Al-Quran dan berkata, "Mereka membaca ayat-ayat Al-Quran, memahami maknanya, mengamalkan hukum dalam Al-Quran, berharap akan janji-janjinya serta takut akan azab, mencontohkan kisah-kisahnya, mengambil pelajaran dari kisah-kisahnya, melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya. Demi Allah bahwa tilawah Al-Quran bukan hanya menghapal ayat-ayatnya, menjelaskan huruf dan membaca surat-suratnya saja… masyarakat telah menghapal huruf Al-Quran dan membacanya dengan indah akan tetapi melanggar batasan-batasannya, melainkan perenungan ayat-ayat Al-Quran yang di dalamnya Allah Swt berfirman: telah Kami turunkan kitab penuh berkah ini kepadamu agar kau merenunginya." (Muntakahab Mizan Al-Hikmah halaman 418, hadis 5192) Seseorang bertanya kepada Imam Shadiq as, "Apa maksud dari ayat 59 surat Al-Nisa bahwa Allah berfirman patuhilah Allah Swt, Rasulullah Saw, dan Ulil Amr? Siapa sebenarnya itu Ulil Amr?" Imam Shadiq as menjawab, "Yang dimaksud Allah Swt adalah hanya kami Ahlul Bait dan Allah mewajibkan kaum mukmin untuk mematuhi kami hingga hari kiamat.' Beliau juga ditanya, "Mengapa nama Ali as dan Ahlul Bait tidak disebutkan dalam Al-Quran?" Imam Ja'far As-Shadiq as menjawab, "Allah Swt telah memerintahkan shalat dalam Al-Quran, akan tetapi tidak menyebutkan tiga atau empat rakaatnya. Sampai akhirnya Rasulullah Saw menafsirkannya (dan menjelaskan jumlah rakaat shalat), diturunkan pula ayat tentang zakat, sampai akhirnya Rasulullah menafsirkannya, dan diturunkan pula ayat tentang haji dan tidak disebutkan tujuh kali kalian bertawaf mengelilingi Ka'bah, sampai akhirnya Rasulullah Saw menafsirkannya, dan juga diturunkan ayat: اطیعوا الله و اطیعوا الرسول و اولی الامر منکم Tentang Ali, Hasan dan Husein as (akan tetapi nama mereka tidak disebutkan), kemudian Rasulullah Saw bersabda kepada Ali: Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya. Kemudian beliau bersabda: Aku menasehati kalian untuk berpegang teguh pada Al-Quran dan Ahlul Baitku, karena aku telah memohon kepada Allah Swt agar keduanya tidak terpisahkan sampai bertemu denganku di telaga Kautsar (di sorga). Allah pun memberikannya kepadaku. Dan Rasulullah Saw bersabda: jangan kalian mengajari sesuatu kepada Ahlul Baitku, karena mereka lebih tahu dari kalian dan mereka tidak akan menyimpangkan kalian dari jalur hidayah dan tidak akan menjerumuskan kalian." Jika Rasulullah Saw diam dan tidak menjelaskan siapa Ahlul Baitnya, niscaya semua orang akan mengaku sebagai Ahlul Bait Rasulullah. Akan tetapi Rasulullah Saw telah menjelaskannya dan Al-Quran membenarkannya, "Sesungguhnya Allah Swt berkehendak membersihkan kalian Ahlul Bait dari keburukan dan menyucikan kalian. (Surat Al-Ahzab ayat 33) Sebelum pembahasan berakhir, berikut ini satu kisah hikmah yang dinukil oleh seorang lelaki yang bertanya kepada Imam Ja'far As-Shadiq as. Lelaki itu bertanya, "Wahai putra Rasulullah! Kenalkan aku dengan Allah. Apa itu Allah? Orang-orang yang berdiskusi memandangku sinis dan membuatku kebingungan. Imam Shadiq as menyatakan, "Wahai hamba Allah! Pernahkah kau naik kapal? Lelaki itu menjawab: iya. Imam berkata, Bayangkan kapal itu pecah dan tidak ada kapal lain yang akan menolongmu dan kamu tidak bisa menyelamatkan dirimu dengan berenang? Lelaki itu berkata: maka ketika itu aku akan berada di kondisi yang sangat mengerikan. Imam berkata, "Apakah dalam kondisi seperti ini kau merasa ada sesuatu yang kau harapkan dapat menyelematkanmu? Lelaki itu menjawab, tidak diragukan lagi dalam batinku aku ingin terselamatkan. Aku merasa ada kekuatan yang dapat membantuku. Imam Shadiq as berkata, apa yang kau harapkan itu adalah Allah Swt yang mampu menyelamatkan ketika tidak ada penyelamat lain..." ********************************************************************************************************************************** Hujjatul Islam Muhsin Qira’ati: 34 Tahun Mengisi Program Qur’ani Tanpa Sekalipun Absen ------------------------------------------------------------------- “Saya sudah 34 tahun mengisi acara program Qur’ani di Televisi yang disiarkan secara langsung, dan tidak pernah satu session pun yang saya absen, atau acara itu diliburkan. Ini menunjukkan betapa tinggi antusias masyarakat untuk mempelajari dan mendalami Al-Qur’an tersebut.” 34 Tahun Mengisi Program Qur’ani Tanpa Sekalipun Absen Menurut Kantor Berita ABNA, Hujjatul Islam wa Muslimin Muhsin Qiraati dalam acara penutupan Pertemuan Asatid Tafsir Al Qur’an Hauzah Ilmiah Qom yang kesembilan kamis [5/12], berkenaan dengan adanya perbedaan dalam memahami maksud ayat mengatakan, “Sebagian dari ayat Al-Qur’an sangat mudah dipahami begitu juga ketika diamalkan, namun sebagian lainnya tidak demikian. Satu pertanyaan yang muncul, mengapa demikian, apakah –Nauzubillah- Allah pada sebagian ayat meninggalkan kita?” “Sebagai seseorang yang selama bertahun-tahun bergiat dalam pengkajian tafsir Al-Qur’an, saya harus mengatakan, sambutan dan penantian masyarakat akan kitab-kitab tafsir Al-Qur’an semakin meningkat. Pada penyelenggaraan pameran buku internasional dalam beberapa tahun terakhir di Iran yang paling laris adalah kitab Tafsir. Masyarakat tidak pernah lelah dan bosan untuk terus ingin mengetahui apa yang dimaksudkan Allah dalam setiap firman-firmanNya.” Lanjut mufassir yang menghasilkan karya tafsir An Nur tersebut. Hujjatul Islam wa Muslimin Muhsin Qiraati melanjutkan, “Satu-satunya ‘perahu’ yang tidak akan bocor dan tidak akan pernah, adalah Al-Qur’an, sebab Allah yang menjaganya, sebagaimana janjiNya, Kamilah yang telah menurunkan az Zikra dan Kami jugalah yang akan menjaganya.” “Hari ini perhatian masyarakat atas tafsir Al-Qur’an sangat besar. Beberapa hari sebelumnya, saya ditanya langsung oleh beberapa arsitek berkenaan bagaimana pandangan Al-Qur’an mengenai perencanaan mengenai tata letak kota, dan membangun perumahan anti gempa. Sayapun menjawab, bahwa dalam Al-Qur’an, Allah mengibaratkan gunung-gunung ibarat paku yang tertancap di bumi. Karenanya untuk membangun bangunan yang ideal perhatikan bagaimana gunung itu tegak, berapa kedalamannya dan bagaimana ketinggiannya.” “Saya sudah 34 tahun mengisi acara program Qur’ani di Televisi yang disiarkan secara langsung, dan tidak pernah satu session pun yang saya absen, atau acara itu diliburkan. Ini menunjukkan betapa tinggi antusias masyarakat untuk mempelajari dan mendalami Al-Qur’an tersebut.” Hujjatul Islam Qira’ati menambahkan, “Tafsir Al-Qur’an bukan hanya menyangkut bagaimana menafsirkan, namun juga bagaimana mencerahkan dan memberi langkah perbaikan pada masyarakat serta menjadi bahan dakwah yang diandalkan. Tafsir yang bisa sekaligus menjadi hidayah, memperbaiki dan mencerdaskan masyarakat, menunjukkan tafsir tersebut diberkahi oleh Allah SWT.” ********************************************************************************************************************************** Fungsi Akal dalam memahami Al-Quran ------------------------------------------------- akalKalaupun ada sebagian orang berupaya untuk menampilkan peranan akal tidak signifikan untuk memahami Al-Quran, toh tidak dapat dimungkiri bahwa mereka masih menggunakan media akal untuk memahami dhahir-dhahir Al-Quran, tapi tetap saja mereka berusaha dengan argumentasi-argumentasi nalar logis dan berbagai alibi membuktikan peran lemah akal dalam memahaminya. Praktis tidak dapat diragukan bahwa minimal akal sebagai salah satu media tidak dapat diragukan oleh siapapun, akan tetapi apakah akal dikategorikan hanya sebagai media yang berfungsi memahami Al-Quran, ataukah berperanan lebih dari itu? Akal pastinya tidak hanya diyakini sebagai media tapi selain itu ia merupakan sumber pengetahuan, sebagai metodologi juga sebagai penyempurna bagi sumber-sumber pengetahuan selainnya sehingga meletakkan fungsinya dalam memahami Al-Quran. Pertama, akal mampu berfungsi dalam memahami dasar-dasar dan berbagai metodelogi memahami Al-Quran, apakah murni rasional digunakan secara independent ataukah digunakan sebagai basis pendukung rasional untuk sumber-sumber yang selainnya. Mufassir ketika menggunakan sumber pengetahuan yang lain untuk memastikan penting atau tidaknya digunakan untuk memahami makna ayat-ayat Al-Quran sebagaimana dengan riwayat-riwayat hadis pasti dengan rasionalisasi akal. Kedua, Akal sangat berperanan dalam memahami makna-makna tekstual ayat-ayat Al-Quran dalam kajian-kajian lunguistik Ketiga, akal mampu mendemonstrasikan secara rasional ayat-ayat Al-Quran, menafsirkan dan menjelaskannya. Keempat, akal mampu selain memahami arti tekstual ayat-ayat Al-Quran juga arti kontekstual yang terkandung di dalamnya. Dalam teori ilmu logika dijelaskan bahwa selain terdapat arti signifikansi teks ada juga arti signifikansi konteks. Kelima, akal mampu mengidentifikasi tujuan dan maksud Al-Quran ketika disandingkan secara bersamaan beberapa ayat dalam tema yang berbeda. Keenam, nilai-nilai aksiomatik logis dan murni dapat digunakan sebagai indikator dalam memahami Al-Quran. Ketujuh, akal mampu mengklasifikasikan ayat-ayat yang turun dengan tema-tema tertentu sesuai dengan asbab nuzulnya dan dapat memilahnya dari tema-tema yang selainnya sehingga tidak terjadi kerancuan. Dalam istilah ilmu ushul “تنقيح المناط و الغاء الخصوصية” yaitu menfokuskan kepada visi atau mengarahkan pada tujuan yang dimaksud dan membatalkan karakteristik diluar maksudnya (kaidah ini disebut juga dengan “قاعده جري و تطبيق” ) , yang demikian ini merupakan wilayah dan peran akal. Pastinya hal-hal yang dimaksud diatas adalah tidak keluar dari system logika yang benar, yang membutuhkan penjabaran yang lebih lanjut… Akan tetapi ironi sekali bilamana media penting akal ini tidak digunakan dengan semestinya, terkadang difungsikan tanpa kriteria kaidah-kaidah rasional sehingga memunculkan “tafsir bi ra’yi” yang fatal menyimpang dari maksud Al-Quran, yang penting adalah bahwa realisasi Al-Quran sebagai rujukan utama tidak mungkin terwujud tanpa menggunakan akal yang benar Oleh:Seyed Mofid Hoseini

No comments:

Post a Comment